Sebuah Kisah yang Tak Benar-benar Bisa Dipenggal
Langit belum begitu gelap, terutama saat memandang atau mebndongak ke atas. Langit yang biru memang merdup, namun masih menyisakan terang. Kami bergegas ke taman yang saat itu populer dengan sebutan Pesanggrahan.
Ilustrasi - meta ai |
Pesanggrahan adalah sebuah lokasi yang datang, satu sisiny adalah bangunan semacam tempat penginapan, sementara satu sisinya adalah halaman yang posisinya bagus banget. Untuk menahan agar pengunjung tidak ngglundhung jatuh ke bawah, maka pembatas lahannya diberi bangku dari beton.
Bangku keras, namun menjadi idola hampir semua pengunjung. Saat ramai-ramainya musim Muriaan, istilah waktu di mana banyak wisatawan berkunjung ke Gunung Muria, Pesanggrahan bisa dipastikan selalu padat.
Gunung Muria memiliki sejumlah magnet yang senantiasa mengundang banyak wisatawan. Ada ziarah Sunan Muria dengan anak tangganya yang konon selalu berbeda jumlahnya kala ditanyakan kepada orang yang berbeda. Saya sendiri belum pernah dengan serius menghitungnya, meski sudah sering menapakinya.
Ada juga air mancur Monthel, yang sampai sekarang saya juga tidak tahu mengapa disebut Monthel. Atau dari kata onthel atau mengayuh, salah satu bagian dari menaiki sepeda agar bisa berputar rodanya. Mengonthel pasti capek, berkeringat. Sama, untuk mencapai Monthel maka butuhn ngos-ngosan. Masuk jauh ke hutan, sementara saat musim kemarau, air terjunnya sungguh mengenaskan.
Kutautkan jemari tangan kananku, mengunci jemari tangan kirimu. Saat kulit jemari tangan bersentuhan, rasanya hangat. Sehangat ketela yang baru masuk ke dalam periuk. Hangat itu lalu menjalar ke sekujur tubuh.
Tak perlu ada angin untuk membuat kawasan Pesanggrahan dingin. Dingtin yang bukan hanya datang saat angin bertiup. Melainkan dingin yang benar-benar menusuk. Beruntung dirimu menganakan jaket tebal membungkus tubuhmu.
Haiya, tampaknya tak banyak manusia yang sebelia kita. Mungkin kebanyakan sudah berumah tangga, suami istri, atau setidaknya anak kuliahan atau SMA.
Di tengah senja yang malu-malu tenggelam di balik pepohonan, aku dan kamu duduk bersebelahan di bangku taman. Angin sore membelai pelan rambutmu, dan aku hanya bisa tersenyum, menikmati kehadiranmu tanpa perlu banyak kata. Tak ada topik hangat yang dibicarakan, tak ada tawa keras yang menggema—hanya hening yang terasa begitu nyaman, seolah dunia sengaja diredam agar kita bisa lebih dekat dalam diam.
Matamu menatapku, tenang dan dalam, seakan mengisahkan ratusan hal yang tak perlu dijelaskan. Aku membalas tatapan itu dengan senyum kecil, merasa utuh hanya dengan kehadiranmu di sampingku. Tak ada kecanggungan, tak ada kebutuhan untuk mengisi jeda. Justru, jeda itu sendiri menjadi ruang paling jujur yang bisa kita bagi—tempat di mana perasaan bicara lebih nyaring dari suara.
Langit perlahan berubah warna, tapi kita tetap tak bergeming. Rasanya seperti waktu berhenti sejenak untuk memberi ruang pada dua hati yang tak butuh banyak kata untuk saling mengerti. Di taman itu, di bawah langit yang mulai gelap, aku tahu… bersama kamu, diam pun bisa menjadi bahasa paling romantis yang pernah kutahu.
Aku dan kamu harus menuju tenda yang dibangun kakak-kakak kita di seberang jalan. Sekadar izin mau ke Pesanggrahan. Maklum, kami bisa dikatakan bagian dari Romli alias rombongan liar. Kita pun ikembali ke Pesanggrahan.
Hm, banyak banget orang-orang duduk di halaman Pesanggrahan. Sementara kita yang berusia belia menyelinap di antara mereka. Bagaikan kancil, kaki mungil kita berjalan, melompat di antara banyak orang, semata hanya untuk menemukan sebuah tempat agar bisa berdua.
Langit tak mau menunggu sejenak agar lebih lama gelap. Memang sudah watunya. Lalu langit pun gelap, digantikan kunag-kunang lampu dari rumah-rumah penduduk. Baik yang membias dari rumah warga di lereng Pesangggrahan hingga ke bawah. Rumah warga tak terlihat karena gelap, hanya menyemburkan cahaya lampu dari teras atau pintu dan jendela yang belum dikunci.
Lalu hanya ada sepetak tanah kosong, yang ditumbuhi rumput Jepang. Di sudut halaman pesanggrahan. Cahaya lampu dari penginapan di ujung sana menembus penghalan berupa pepohonan dan lalu lalang manusia, menyajikan gambaran seuutuhnya akan parasmu.
Cinta masa kecil itu terasa menggoda. Hanya perasaan suka dan gembira. Kulihat kamu tersenyum saat aku menatapmu. Senyum yang sebenarnya selalu ada di bibirmu. Namun bedanya, kali ini aku bisa menikmati senyuman itu. Bahkan pergerakan bibirmua saat merekahkan senyum dengan jelas kulihat. Andai sudah ada ponsel waktu itu, momen itu pasti sayang untuik dilewatkan begitu saja.
Kusandarkan punggungku pada sebatang pohon. Baru saja sepatu dilepas dan kamu bersiap duduk di depanku, mendadak sepasang remaja kaget melihat kita berdua. Dari percakapan mereka, rupanya tempat yang kami duduki sudah diincar mereka. Namun apa daya, cinta adalah siapa yang duluan hehe.
Kupeluk dirimu sangat erat. Belumm pernah aku melakukannya selama ini. Selama ratusan surat cinta saling kita kirim dan terima. Selama kita sekolah di atas sekolah yang sama. Selama mencuri-curi waktu di belakang sekolah saat jam istirahat.
Rasanya belum cukup menikmati cantikmu. Lalu kulepaskan pelukanku, kamu beringsut mengubah posisi dudukmu. Kita berbincang. Yang ringan-ringan. Sama sekali tak menyentuh materi atau topik pelajaran. Tentang cinta, belum bicara tentang masa depan. Bagi kita saat itu, masa depan adalah cinta. Tak pernah terpikir jika dalam perjalanan cinta akan menemukan banyak duri.
Apalagi cinta monyet. Hanya beberapa hari jatuh cinta, kirim surat langsung dibalas, anggapan kita dunia milik berdua. Lalu datang kesempatan menikmati suasana Pesanggrahan berdua. Sungguh, membutuhkan sebuah keberanian bagimu untuk minta izin kepada orang tuamu. Bahkan aku masih belum percaya saat sore itu melihatmu datang diantarkan saudaramu hanya untuk menemuiku di sini.
Wangi rambutmu terbawa angin, masuk ke hidungku. Lalu jemari tanganku bermain di anak rambutmu yang jatuh ke dahi. Kamu hanya diam, menatap wajahku dengan tenang. Kok tidak terlihat judesmu ya, hehe. Padahal kalau sedang merajuk, ngambek atau marah, hmmm.
Kamu dan aku menyatu. Bersama alam pegunungan yang menawarkan kedamaian. Dua anak manusia usia belia yang demam cinta mencoba menyelaraskan hati. Cinta monyet saat itu hanya berani mengelus wajah, mempermainkan anak rambyt dan menggenggam tangan. Namun bahagianya seperti mendapatkan rangking pertama di sekolah.
Separuh jam berlalu, penat membuat kamu membiarkan kupeluk dalam posisi semula. Kali ini aku bisa melingkarkan tanganku di depan dadamu. Sementara kedua jemari tanganmu mempermainkan rumput yang tadi aku cabut untuk menggodamu, menyentuhkannya ke ujung hidungmu yang tidak mancung. Hidung asli orang Indonesia. tetapi cinta mana peduli tidak mancung, alis yang tak panjang, bibir yang memerah atau apapun itu.
Kucium rambut belakangmu sesering mungkin. Agaknya kamu keramas dahulu sebelum berangkat.
Suara musik terdengar dari banyak penjuru. Saat itu, tahun-tahun segitu, memang sudah menjadi trend anak-anak muda membawa serta tape recorder di dalam acara mereka. Karena itu anak-anak yang lahir di zaman 90-an cukup familiar dengan lagu-lagu barat yang sampai kini menjadi evergreen.
Lagu Hello, Boulevard, Knife, Caravan atau musik pengiring gerakan Tari Kejang atau Breakdance masihlah terdengar.
Sementara kalau lagu Indonesia, ada lagu Hening-nya Chrisye dan teman-temannya yang menjadi backsound "kencan" aku dengan dirimu.
Berbincang hampir dua jam membuat perut lapar. ternyata cinta juga bisa membuat lapar ya. Aku beranjak memintamu untuk tetap duduk di tempat, khawatir kalau pergi berdua nanti baliknya tempat tadi sudah ditempati pasangan lain.
Tidak ada yang paling mudah dicari di Pesanggrahan kala itu selain jeruk, jangklong, kacang, jagung dan minuman tentu saja. Yang penting bisa buat mengganjal perut.
Kami memang sudah pacaran setahun di sekolah, namun berduaan seperti ini nyaris tidak pernah sama sekali. Yah, kalau kangen paling-paling menatap pulangmu. Mau kain ke rumah ya takut, karena pasti disemprot ayah ibumu. Beda banget ya sama anak-anak sekarang.
Komunikasi yang paling memungkinkan antara aku dan kamu hanya surat. Lalu kita tertawa pelan saat mengingat-ingat ada berapa jumlah surat yang sudah aku dan kamu hasilkan. Kalau seminggun bisa satu sampai tiga surat, berapa banyknya kalau setahun? Hadew....
Malam benar-benar sudah datang, membawa sejuk yang merayap pelan ke kulit, tapi tak sedikit pun membuat kita ingin beranjak. Taman yang tadinya riuh oleh musik pelan-pelan mulai terdengar lirih. Volume tape recorder yang awalnya galak pun berubah menjadi lirih. Tapi entah kenapa, justru di saat seperti inilah hatiku terasa paling hidup—karena kamu, karena kita, masih di sini, duduk berdua tanpa ingin pulang.
Kamu bersandar pelan di dadaku, seolah dada ini memang sudah lama kamu pilih sebagai tempat paling nyaman untuk beristirahat. Aku tak bergerak, tak ingin mengganggu keheningan lembut yang tercipta. Lalu, perlahan-lahan, tanganmu meraih tanganku—erat, hangat, seperti ingin memastikan bahwa aku benar-benar ada, dan tak akan pergi.
Suara kecil keluar dari bibirmu. Bukan kalimat, bukan pertanyaan, tapi potongan lagu cinta yang kamu nyanyikan pelan, nyaris seperti bisikan. Nadanya lembut, kadang tak sempurna, tapi justru itu yang membuatnya terasa begitu tulus. Aku tak menyela, hanya mendengarkan, menikmati setiap nada yang keluar dari hatimu. Rasanya seperti lagu itu ditulis khusus untuk kita, di malam yang sunyi ini.
Bintang-bintang mulai muncul malu-malu di langit. Aku melihat ke atas sebentar, lalu kembali menatapmu. Kamu masih memejamkan mata, masih bersandar dengan tenang, seolah malam adalah tempat kita bersembunyi dari dunia yang terlalu cepat bergerak. Dalam detik-detik itu, aku merasa seluruh waktu melambat, seperti memberikan kita ruang untuk menyatu lebih dalam lagi, bukan hanya lewat sentuhan, tapi lewat jiwa yang perlahan saling menyerap.
Tak ada rasa kantuk, meski malam kian larut. Mungkin karena hati ini sedang terlalu sibuk jatuh cinta, bahkan pada hal-hal kecil seperti napasmu yang teratur, atau cara jarimu mengenggamku tanpa sadar. Setiap detik bersamamu terasa seperti puisi yang tak perlu rima, karena cukup dengan kehadiranmu saja, bait-baitnya sudah sempurna.
Dan di antara semua malam yang pernah kujalani, malam ini terasa paling utuh. Tanpa pesta, tanpa kembang api, hanya ada kamu dan aku, saling diam, saling mendengar, saling menyentuh, dan saling merasa. Tak ada yang ingin aku ubah. Karena mungkin, cinta sejati memang sesederhana ini—menemukan kedamaian dalam diam, dan menemukan rumah dalam pelukan.
Jatuh cinta di usia remaja—di masa SMP—adalah hal paling polos dan jujur yang pernah ada. Tak butuh hadiah mahal, tak perlu janji besar. Cukup duduk berdampingan, menatap jauh ke arah lampu-lampu kecil di kaki gunung, dan rasanya dunia sudah memberi kami konser paling indah. Setiap cahaya itu tampak seperti bintang yang turun ke bumi, berkedip lembut seolah ikut merestui perasaan yang sedang tumbuh perlahan-lahan.
Kamu duduk di sampingku, mengenakan jaket yang sedikit kebesaran, dan pipimu memerah entah karena udara dingin atau karena aku yang sesekali curi-curi pandang. Rasanya lucu, degup jantung ini lebih keras daripada desir angin malam yang meniup dedaunan. Tapi tak ada satu pun dari kita yang berkata apa-apa, karena memang tak perlu. Cinta yang murni tak butuh penjelasan panjang, cukup hadir dan saling merasakan.
Angin malam membelai rambutmu, membuat beberapa helainya menari-nari di wajah. Kamu terkikik pelan saat aku membenarkannya, lalu kembali diam. Aku pun ikut terdiam, tapi senyumku tak hilang. Di usiaku yang baru belajar memahami rasa, malam ini adalah malam yang tak akan pernah ingin aku tukar dengan apapun.
Taman ini, di punggung gunung, menjadi saksi kecil bahwa cinta bisa lahir dari hal-hal sederhana. Dari jalan kaki di tanjakan, dari saling menawarkan jaket, dari membagi sisa permen terakhir. Dan dari menyaksikan lampu-lampu yang jauh di bawah sana, seolah semesta sedang memainkan lagu cinta khusus untuk kita berdua.
Suaramu tiba-tiba memecah keheningan, pelan dan nyaris tak terdengar. Kamu bilang, “Kayaknya kalau kita lihat ini setiap malam, aku gak akan pernah bosan.” Aku menoleh padamu, dan entah kenapa, kalimat sesederhana itu membuat dadaku hangat seperti matahari pagi. Aku hanya menjawab dengan senyuman dan genggaman tangan yang lebih erat.
Waktu terus berjalan, tapi kita tak merasa ingin pulang. Seakan taman ini adalah tempat paling nyaman yang pernah ada. Di bawah langit luas yang mulai menghitam sempurna, segala kekhawatiran dan beban terasa tak penting. Yang ada hanya kamu, aku, dan rasa yang tumbuh diam-diam di dada—indah, lembut, dan terlalu manis untuk dijelaskan dengan kata-kata.
Kamu mulai menyandarkan kepala ke pundakku, dan aku bisa merasakan napasmu yang mulai tenang. Jari-jarimu masih menggenggamku, kali ini lebih longgar, lebih damai. Tak ada bunyi kendaraan, tak ada suara orang. Hanya gesekan angin, bisikan pepohonan, dan detak jantungku yang bersyukur diam-diam.
Dari bibirmu sempat terdengar lantunan kecil lagu cinta, nyaris seperti gumaman yang menyatu dengan malam. Aku tak mengenali liriknya, mungkin kamu mengarangnya sendiri. Tapi suaramu, dalam keheningan taman ini, terdengar seperti lagu pengantar tidur paling indah yang pernah kudengar seumur hidup.
Aku memejamkan mata sejenak, tak ingin melewatkan satu detik pun dari malam ini. Ini bukan tentang kemewahan, bukan tentang rencana masa depan. Ini tentang detik yang berhenti bersama seseorang yang kamu sukai, dan dunia seolah menyetujui semuanya. Dan saat kurasakan kepalamu mulai berat di pundakku, aku tahu kamu telah tertidur.
Di bawah langit malam di punggung gunung, dengan tanganmu masih menggenggamku, aku hanya bisa tersenyum. Aku tak ingin membangunkanmu. Biarlah malam ini menyimpan kita dalam sunyi yang begitu hangat. Karena mungkin, cinta pertama tak selalu bertahan selamanya, tapi kenangan sesederhana ini akan terus hidup, bahkan ketika kita telah dewasa nanti.
Tidurlah, seperti aku menidurkan bayanganmu. Terima kasih pernah mengisi hari-hariku. ***
0 Response to "Sebuah Kisah yang Tak Benar-benar Bisa Dipenggal"
Post a Comment